Biografi K.H. Fauzi Noor
BIOGRAFI “K.H. FAUZI NOOR”
“Di susun dalam rangka memenuhi salah satu Tugas pada
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam”
Dosen Pengampu : Khoirul Anwar, M.Ag.
DI SUSUN OLEH :
Ilva Safriyati (33010190131
FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM KELAS D
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
Selayang Pandang Desa Jungpasir
Jungpasir adalah sebuah desa di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak Jawa Tengah. Desa Jungpasir memilki luas tanah sebesar 341,5 ha dengan luas pemukiman 37 ha yang terdiri dari 3 dusun, yaitu bajangan, jungpasir, dan ngemplik. Kepadatan penduduk mencapai angka 5733 jiwa menurut data sensus penduduk tahun 2014. Basis ekonomi masyarakat mayoritas ialah bidang pertanian dengan luas lahan mencapai 287,5 ha. Kualitas SDM masyarakat terbilang menengah keatas. Di desa santri yang kental dengan nuansa keislaman ini telah berdiri beberapa lembaga pendidika formal diantaranya TK, SD, MI, MTs, MA, SMK, dan lembaga pendidikan non-formal lain yang letak geografisnya tersebar di seluruh desa.
Sejarah mencatat beberapa nama tokoh yang mempunyai peran besar dalam pengembangan masyarakat, salah satunya ialah Kiai Abu Rustam seorang tokoh masyarakat dan guru tarekat yang berperan besar pada masyarakat dimasa pertengahan abad 20. Pada masa sekarang, setiap tahun masyarakat Jungpasir menggelar acara Haul KH. Abdussalam dan KH. Fauzi Noor, 2 tokoh bersaudara yang memperjuangkan pendidikan masyarakat Desa Jungpasir.
Riwayat Hidup Kiai Fauzi Noor
KH. Fauzi Noor lahir di Jungpasir, 27 Agustus 1943 – meninggal pada 19 Januari 1999 pada usia 56 tahun. Beliau adalah seorang tokoh perjuangan pendidikan di Demak, khususnya di Desa Jungpasir sebagai tempat tinggal dan kelahiran beliau. Beliau merintis berdirinya Pondok Pesantren Al-Ittihad di kediaman beliau sendiri, dan juga memprakarsai berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal di Desa Jungpasir.
Silsilah Keluarga
Nama lengkap silsilah beliau ialah KH. Fauzi Noor bin H. Manshur bin Sarjan. Haji Manshur ialah seorang modin dan tinggal di Desa Jungpasir berlatar pendidika pesantren. Beliau berasal dari Desa Tedunan, desa yang tidak jauh dari Jungpasir. Bapak Sarjan ialah seorang kepala Desa Tedunan,. Beliau juga masih punya hubungan kerabat dengan tokoh kiai besar dari Desa Tedunan, KH. Abdul Hadi dan KH. Abdurrahim.
Dari kecerdasan dan potensinya sebagai santri, Haji Manshur menikah dengan Hj. Asmanah putri H. Sulaiman yang terpandang di Desa Jungpasir. Kisahnya, namanya Manshur ialah setelah menunaikan ibadah haji bersama dan atas biaya H. Aulaiman. Yang sebelumnya Manshur bernama Adnan.
Dari keluarga H. Manshur dan Hj. Asmanah, dalam keluarga sederhana namun kental dengan nuansa islami inilah, lahir putra-putri yang meeruskan cita-cita ayahnya, yaitu ;
KH. Abdussalam
KH. Asymuni
Hj. Zulfa
KH. Fauzi Noor
KH. Farokhi
Nyai Mastikah
Dari 6 bersaudara ini, yang paling berperan dalam membentuk karakter seorang KH. Fauzi Noor ialah kakaknya, KH. Abdussalam, yang banyak memberikan arahan dalam pendidikan KH. Fauzi Noor dan adiknya KH. Farokhijuga banyak menemani dalam menjalani langkah-langkah belajar beliau. Haji Manshur wafat sekitar tahun 1950, sedangkan Kiai Abdussalam wafat pada tahun 1980.
Pendidikan
Masa Kecil
Riwayat sejarah pendidikan beliau ialah menggembala kambing sejak kecil bersama adiknya, Kiai Farokhi. Pernah suatu saat ia bermimpi bahwa kakaknya, KH. Abdussalam tengah berternak bebek, yang merupakan pertanda bahwa KH. Abdussalam berkiprah dalam pendidikan anak-anak belajar Al-Quran di Madrasah Diniyah sebagai seorang pendiri dan kepala madrasah pertama. “mungkinkah aku nanti akan menggembalakan manusia-manusia yang lebih besar seperti kambing-kambingku ini?.” Hal ini diceritakan oleh adik beliau, KH. Farokhi.
Pendidikan formalnya dimulai ddari bangku SD di Desa Mutih Kulon yang tak jauh dari Jungpasir. Dan juga belajar ilmu agama setiap sore di bangku Madrasah Diniyah dalam bimbingan kakaknya, KH. Abdussalam. Ia mengisi waktu luangnya dengan menggembala kambing bersama Kiai Farokhi adiknya.
Sekolah dan Mondok
Haji Manshur mempunyai cita-cita agar Fauzi juga saudara-saudaranya belajar di pesantren dan menjadi kiai meneruskan perjuangan sang ayah. Oleh karena itu, setamat sekolah pendidikan dasar, Fauzi dipondokkan di Pondok Pesantren Al-Fattah Kembangan Demak. Akan tetapi Kiai Fauzi “mencuri” waktu untuk menimba ilmu di PGA Demak. Setelah 1 tahun dan dikemudian hari ayahnya mengetahui, ia dipindah.
Beliau dipindahkan ke pesantren KH. Aholeh Gleget di Mayong Jepara selama 2 tahun. Belakangan kemudian diketahui ternyata meskipun tidak sekolah Fauzi masih suka membuka mata pelajaran umum, kemudian dipindah di Pesantren Salafiyah Kajen, dibawah asuhan Kiai Baidlowi.
Di kajen, Fauzi masih punya semangat sekolah, ia masih saja mencuri waktu untuk belajar di Sekolah Menengah Islam (sekolah setara SMP/Sederajat). Akan tetapi sekolah itu hanya dijalaninya selama setahun.
Pengalaman belajar di Kajen yan dijalaninya selama 3 tahun inilah yang menjadi motivasi beliau dalam perjuangan di masyarakat nanti.
Beliau merasa terbuka dan tenang dalam kesibukannya belajar ilmu agama. Disamping itu, ia juga bertekad menjalani puasa. Ia memperoleh amalan Puasa Dala’il dari Kiai Ahmad Ibrahim dan Kiai Yasin Mbareng. Ditambah lagi lebih dalam dari Kiai Sa’id Rowo Kirik Kudus.
Mengabdi Pada Kiai Ma’shum
Di Kajen, beliau pernah bermimpi bahwa dirinya menghabiskan nasi makanan santri seluruh pondok. Mimpinya tersebut dihaturkan kepada Kiai Baidlowi mengartikan bahwa itu isyarat bahwa Fauzi itu akan menghabiskan ilmunya orang sepondok. Masa belajarnya di Kajen 3 tahun ini dicukupkan, dan sementara itu abahnya mendapatkan dhawuh agar Fauzi di pindah ke Lasem. Diantar oleh kakaknya, Kiai abdussalam, mondok di Pesantren Al-Hidayah dibawah asuhan Kiai Ma’shum Lasem.
Dari penuturan Kiai Farokhi, Kiai Fauzi sering terjaga diwaktu malam untuk tahajud, bermunajat, dan belajar. Kiai Fauzi seringkali keluar malam ke halaman pondok memandang lingkungan sekitar, memandang langit dan bumi.
Masih dianggap anak baru, yang belum genap mondok 2 tahun, suatu ketika Mbah Ma’shum membuat pengumuman tertulis dengan tangan beliau sendiri, bahwa nanti yang akan memaca kitab ialah Fauzi Noor Demak. Sejak saat itulah reputasi beliau sebagai santri melebihi santri-santri yang lebih senior. Beliau menjadi pengajar, yang sering menggantikan (menjadi badal) Kiai Ma’shum mengajar ketika sedang ada udzur. Kiai Ma’shum selalu menyebutnya “Jago Demak”. Pada awalnya Kiai Fauzi merasa tidak yakin akan kemampuan dirinya, namun Mbah Ma’shum berpesan, ketika menjumpai kesulitan bacakan saja Surat-Alfatihah untuknya dn pengarang kitab yang sedang dibaca. Dan ternyata memang benar, seolah ada yang memberikan pengertian dan menjadikan beliau faham seketika. Sejak itulah beliau tidak pernah menjumpai kesulitan apapun dalam khazanah keilmuwan kitab-kitab salaf disekelilingnya.
Di saat-saat tertentu ketika bahtsu masail ada orang yang membantah pemahaman beliau terkadang beliau terlanjur mengatakan kehadiran mualif dan mualif sendiri yang mengatakan kepada beliau.
Kiai Fauzi mengikuti forum-forum Bahtsu Masail Kubro antar pesantren. Sejak itulah public mulai mengenal sosok Kiai Fauzi. Setelah menikah dan punya santri di kampong halamannya, beliau masih berangkat ke Lasem setiap Sya’ban sampai Ramadhan untuk mengajar.
Dari pengalaman santri beliau di Lasem, ketika Kiai Fauzi menarget khatam Kitab Shahih Muslim selama 21 hari, maka mengajinya setiap hari sehabis isya’ duduk bersila ngasahi kitab sampai jam 1 malam.
Di Lasem beliau juga sempat untuk belajar kepada beberapa Kiai. Diantaranya, beliau mengikuti kajian kitab Al-Itqan pada persinggaan rihlah safari Kiai Dimyathi Pandeglang BAnten selama beberapa bulan. Kiai Fauzi menjadi kenal dan dekat dengan Kiai Dimyathi dalam masa singgahnya untuk mengajar di Masjid Lasem. Setelah khatam, Kiai Fauzi mengikuti perjalanan Kiai Dimathi ke Rembang, mengaji kitab yang lain selama setahun.
Kiai Fauzi juga sempat berguru Thariqah Naqsyabadiyah kepada Kiai Abdullah Khafid Rembang.
Menikah
Beliau menikah dengan Nyai Hj. Amin Zahroh, putri H. Abdur Rohim yang berlatar belakang keluarga terpandang, dalam usia yang terpaut sangat jauh. Kiai Fauzi dalam usia mudanya, 24 tahun, sedangakan Nyai Hj. Amin Zahroh dalam usia masih kecil, 12 tahun. Mertuanya inilah yang membiayai ongkos untuk kembali ke Lasem.
Memang menjadi tradisi di masa dulu, santri yang punya potensi besar dan pengaruh akan mendapat banyak dukungan secara moril maupun materil oleh masyarakat, terlebih dari kalangan orang terpandang yang peduli pendidikan, banyak juga santri itu yang akhirnya menjadi bagian keluarga tersebut. Tak kecuali Kiai Fauzi.
Pernikahan Kiai Fauzi Noor dengan Nyai Hj. Amin Zahroh melahirkan putra-putri yang melanjutkan perjuangan beliau ;
Ibrahim, meninggal waktu masih bayi.
Nyai Hj. Elok Hafidzoh
KH. Agus Manshur, M.Eng. Sc.
Ma’shumatul Faidzoh
Lailatul Fajriyah
Amirotul Azizah
Sarifatul Mukaromah
Panggilan ke Tanah Suci
Beliau pertama kali mengunjungi Tanah Suci untuk berhaji pada tahun 1975. Sampai wafat beliau telah menunaikan haji 6 kali. Kunjungan ke tahan suci pada waktu itu menggunakan kendaraan kapal, sehingga setiap kunjungan beliau ke tanah suci memakan waktu sampai lebih dari 3 bulan.
Wafat
Kiai Fauzi meninggal dunia setelah Shalat Isya’ tepat pada malam Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1420 Hijriyah bertepatan tanggal 19 januari 1999, dalam usia 56 tahun. Menjelang wafat, kesehatan fisik beliau memang kurang baik, tapi masih aktif mengajar dan mengimami sholat. Sampai akhirnya sakit beliau yang parah dirujuk ke Rumah Sakit Islam Kudus dan berpulang ke Rahmatullah.
Ada ribuan peziarah saat prosesi pemakaman beliau. Ini menandakan bahwa beliau merupakan seorang kiai karismatik yang menjabat sebagai Rois Syuriah Demak 2 periode yang mempunyai pengaruh besar di lingkungan masyarakat Demak dan sekitarnya. Saking banyaknya peziarah yang ikut menshalatkan beliau, keranda jenazah beliau tidak di pikul, tapi berjalan diangkat secara estafet oleh tangan-tangan para peziarah dengan rapi sampai ke lokasi pemakaman.
Beliau dimakamkan di komplek pemakaman Desa Jungpasir. Makam beliau begitu sederhana hanya diberi persegi panjang dengan gundukan batu-batuan kecil berwarna putih. Makamnya bertuliskan “KH. Fauzi Noor, wafat 1 Syawal 1420 H.” disamping makam KH. Abdussalam kakak beliau, dan orang tua beliau H. Manshur dan Hj. Asmanah.
Peran dan Kiprah Kiai Fauzi dalam Pengembangan Masyarakat
Kiai Fauzi pernah meras gelisah memandang Desa Jungpasir hanya berputar dalam bidang pertanian. Disini beliau memandang bahwa keadaan ini tidak akan bias mencetuskan cita-cita tinggi Jungpasir. Beliau juga mendapat pengarahan dari KH. Abdurrahim Tedunan seorang ulama sepuh muryid terkenal Thariqah Naqsyabandiyah, dalam perjuangan dakwah beliau. Kiai Farokhi menuturkan, bahwa memang sejak `kecil Kiai Fauzi dan saudara-saudaranya sering berkunjung sillaturahmi ke Kiai Haji Abdul Hadi dan Kiai Haji Abdurrahim di Tedunan.
Mendirikan Pesantren
Pada tahun 1971 Kiai Fauzi pulang ke kampong halaman dan mulai mengabdikan diri dalam pemberdayaan masyarakat. Namun beliau masih pulang-pergi ke Lasem, untuk mengajar setiap Sya’ban sampai Ramadhan. Ada sekitar 10 anak santri menetap dan anak kampung yang ikut mengaji berangkat dari rumah. Pesantren saat itu belum memiliki bangunan dan belum ada namanya. Para santri ditempatkan di 2 kamar sederhana kepunyaan Kiai Abdussalam. Mengajinya dirumah Kiai Abdurrahim Jungpasir mertua beliau yang jaraknya agak jauh. Santri-santri angkatan pertama ialah murid beliau dari Lasem yang ingin melanjutkan mengaji kepada Kiai Fauzi atas intruksi dari Mbah Ma;shum sendiri.
Kiai Fauzi baru benar-benar menetap di Jungpasir pada tahun 1976. Beliau menghidupkan kegiatan majelis ta’lim untuk masyarakat belajar tata sholat setiap hari Selasa, karena pada saat itu tidak sedikit juga orang yang belum benar bahkan belum bias sholat. Dan setiap hari Jum’at diadakan kajian kitab. Banyak orang yang senang mendengarkan ceramah dan nasehat beliau.
Awal mula pesantren itu benama “Nahdlatul Talamidz” yang artinya “Kebangkitan Murid-murid.” Dengan sebuah bangunan gubuk bambu dengan tiang penyangga dari kayu jati.
Pada perkembangannya, pesantren itu mendapat dukungan kuat dari berbagai lapisan masyarakat. Maka semangat persatuan gotong royong ini dijaga dalam perubahan nama menjadi “Al-Ittihad” banyak anak-anak desa dan sekitar ikut mengaji di pondok. Ada banyak santri mukim dari daerah yang jauh, tapi banyak juga santri kalong dari desa sendiri dan desa-desa tetangga.
Diantara berbagai dukungan yang masuk, ada beberapa respon negative dari sebagian kecil golongan dan masyarakat dengan berbagai dalih, namun itu semua tidak menjadi penghalang perjuangan Kiai Fauzi. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam setiap perjuangan selalu dihadang rintangan. Dzikir-dzikir berjama’ah yang dibaca di pesantren menjadi tameng ruhaniyah para santri.
Asal mula penerimaan santri putri diawali kehadiran seorang santri dari Sumatera untuk nyantri dengan membawa istrinya. Disamping itu putri pertama Kiai Fauzi, yakni Nyai Hj. Elok Hafidzoh telah pulang dari pesantren Lasem. Beliau juga seorang penghafal Al-Quran alumni Pondok Pesantren Yanbu’ul Quran asuhan Kiai Arwani Kudus. Banyak juga minat dari masyarakat kalangan perempuan untuk mengaji di Pesantren Al-Ittihad. Sejak tahun 1955, Pesantren Al-Ittihad telah membuka pendaftaran bagi snatri putri untuk menghafal Al-Quran dibawah bimbingan Hj. Elok Hafidzoh.
Pada saat ini kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Ittihad diwarisi oleh putra beliau, KH. Agus Mansur, M. Eng, Sc. dibantu oleh Kh. Abdur Rohim, yang merupakan santri sekaligus menantu Kiai Fauzi sendiri, suami dari Ibu Nyai Hj. Hafidzoh.
Mendirikan Madrasah
Kiai Fauzi juga berkiprah membangun madrasah di Desa Jungpasir. Meskipun tidak semua madrasah, tapi pelopor utama yang menggerakkan masyarakat untuk berbenah dalam bidang pendidikan ialah Kiai Abdussalam, yang dikembangkan oleh Kiai Fauzi. Pada mulanya telah berdiri Madrasah Diniyah yang didirikan oleh KH. Abdussalam, yang dikembangkan oleh KH. Fauzi menjadi sampai ke jenjang Wustho dan Ulya bagi anak pondok dan umum. Kiai Fauzi mengawasi perkembangan lembaga-lembaga pendidikannya dalam yayasan yang menaungi Pesantren Al-Ittihad, yakni Yayasan Al-Ittihad Al-Manshuriyah menaungi beberapa lembaga pendidikan mulai dari PIAUD, TK, TPQ, sampai akhirnya pada tahun 2011 melahirkan SMK Multimedia Al-Ittihad. Kiai Fauzi juga menggagas berdirinya sekolah formal MI dan Mts. Mi Al-Ittihad kemudian lepas dari naungan yayasan Al-Ittihad Al-Manshuriyah karena berubah statusnya menjadi negeri. Adapun Mts dan Ma berada dibawah Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan Muslimin yang diberdayakan oleh masyarakat.
MI Negeri Jungpasir
Sebelumnya lembaga pendidikan formal hanyalah SDN Jungpasir dan dipandang kurang begitu berperan dalam mendidik masyarakat Jungpasir. Maka Kiai Fauzi dan Kiai Abdussalam menggagas berdirinya sebuah madrasah tingkat dasar.
Pada tahun 1969, musyawarah pertama pendirian itu dilaksanakan pada Hari Jum’at pagi, berjumlah 7 orang dikantor organisasi islam Jungpasir (sekarang Kantor Mts Bandar alim), kemudian berdirilah MWB (Madrasah Wajib Belajar) di sebelah Masjid Jungpasir. Pada taun 1970, MWB yang pada sata itu hanya sampai jenjang kelas 3, berubah menjadi MI Al-Ittihad yang sampai kelas 6. Sampai tahun 1985, jumlah siswa mencapai 143 anak. Kepala MI Al-Ittihad pertama ialah Kiai Abdussalam, lalu dilanjutkan Kiai Fauzi, kemudian Kiai Ahmad hasyim. Sejak tahun 1971 kepemimpinan dipegang oleh Kiai Misbah.
Pada tahun 1991, MI Al-Ittihad masih sangat kekurangan dana untuk biaya operasional, akhirnya mengajukan usulan pada pemerintah untuk dinegerikan. Akhirnya menjadi MIN Jungpasir dengan SK Pemerintah tertanggal 25 Noember 1995. Kiai Misbah masih menjadi kepala madrasah lagi sampai tahun 2003. Jabatan kepala madrasah dipegan oleh Ibu Muthomimah, S.Pd.I dan sekarang di ganti oleh Bapak Agus
MTs Bandar Alim
Secara umum, latar belakang didirikannya MTs Bandar Alim Jungpasir ialah menciptakan lembaga pendidikan yang lebih tinggi untuk pemberdayaan masyarakat. Melihat keberhasilan dalam merintis MIN Jungpasir, akhirnya munculkan ide untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang lebih tinggi, yaitu merintis sebuah Madrasah Tsanawiyah tepatnya pada pertengahan tahun 1977.
Pada bulan September 1977 MTs Al-Ittihad telah melangsungkan kegiatan belajar mengajar dan 10 siswa yang sebagian besar dari anak pondok dan sebagian kecil dari anak kampong. Fasilitas madrasah masih serba kekurangan. Para pengajarnya ialah para pendiri dari tokoh-tokoh masyarakat, diantaranya ialah:
Kiai Fauzi sendiri sebagai kepala sekolah
Bapak H. Ali Asrori, akrab dengan sapaan “pak carik”
Pak Abdullah Nashir
Pak Samsul Hadi
Pak Sayuti Anwar
Pak Baidhowi Marzuki
Pak Khoirul Ulum
Karena berbagai kekurangan dan kendala, akhirnya pada bulan April 1978 kegiatan belajar-mengajar di MTs AL-Ittihad berhenti. 2 tahun kemudian, sekitar tahun 1980-an, Kiai Fauzi berusaha menghidupkan lagi. Beliau mengumpulkan para Kiai dan tokoh masyarakat, diantaranya ialah ; KH.Ubaidun Shofwan, KH. Sholeh Zainuri, dan KH. Ahmad Hasyim. Dari musyawarah tersebut, ada usulan dari KH. Sholeh Zainuri untuk merubah nama Al-Ittihad dengan tujuan agar timbul kesan bahwa MTs ini ialah milik bersama seluruh lapisan masyarakat. Akhirnya Kiai Fauzi menyetujuinya.
Nama baru yang disepakati ialah Bandar Alim. Yang artinya Desa Jungpasir ini ialah tempat berlabuhnya orang-orang alim. Nama Bandar Alim ini ialah seenarnya nama Dukuh Bajangan. Sejarah dari Dukuh Bajangan pernah diberi julukan Bandar Alim karena banyak orang-orang alim di Dukuh ini. Namun, dikembalikan menjadi Bajangan, agar nama tokoh bersejarah “Mbah Bajang” di Desa Jungpasir khususnya Dukuh Bajangan ini tetap hidup dan dikenang.
Mengenai letak geografis, dulu ada perselisihan diantara para founding fathers. Ada diantaranya yang berpendapat bahwa letak posisina kurang strtegis, juga tidak berkumpul dalam satu komplek yang besar. Tapi Kiai Fauzi punya komitmen, bahwa jenjang lembaga pendidikan anak Desa Jungpasir bias merata. Dan MTs ini memang harus ada di tengah desa. Sebelumnya telah berdiri MI di utara, dan sebelah barat jauh-jauh hari telah berdiri SD.
Sekitar tahun 1983, jumlah siswa sudah mencapai angka 500. Karena pada saat ini ada beberapa lembaga pendidikan sederajat baru didirikan, perkembangan kuantitas menurun, pada tahun ini ada 337 anak. Sampai tahun ini, MTs Bandar Alim telah meluluskan hamper 4000 siswa. Meskipun kurikulum mengacu pada Kementrian Agama, pihak madrasah punya komitmen menambah penekanan pada mata pelajaran islam, terkhusus pada kitab kuning, seperti Ta’limul Muta’allim, Faroidl, dan Nahwu-Shorof yang lebih utama. Juga program hafalan bersertifikat, yang menjadi syarat kenaikan kelas, diantaranya; Asmaul Husna dan Juz Amma untuk kelas 7, Surat Yasin dan Al-Waqiah untuk kelas 8. Dan hafalan itu semua berijazah dari para kiai sepuh, dengan keyakinan bahwa sanad ijazah itu nanti pasti berkahnya. Adapun talil tidak dimasukkan karena dianggap telah familiar.
Karir Organisasi
Karir organisasi beliau ialah sejak memulai berkiprah di desa, beliau menjadi sentral semua bidang dakwah di Jungpasir, terlebih dalam organisasi NU. Kiprah beliau dalam organisasi NU dimulai di desa, semenjak meninggalnya kakak beliau, Kiai Abdusslam di tahun ’80-an, Kiai Fauzi menggantikannya sebagai ketua NU Ranting Jungpasir dan menghidupkan kembali kegiatan yang pernah berhenti beberapa waktu semenjak wafatnya KH. Abdussalam. Mulai tahun 1988 beliau menghubungkan NU Ranting Jungpasir dengan Anak Cabang Wedung agar lebih luas kiprahnya, karena saat itu dipandang selama ini NU Ranting hanya berputar dalam perkumpulan jam’iyahan dan ngaji. Sejak tahun 1990-an beliau sudah berkiprah di NU Kabupaten, sampai akhirnya menjadi Rois Syuriah NU Demak sekitar tahun 1995 dan terpilih lagi sampai beliau wafat. Beliau juga dipilih menjadi anggota wakil utusan PW. NU Jawa Tengah dalam Bathsul Masail Nasional dan Muktamar NU.
Karakter dan Kepribadian Kiai Fauzi
Kharismatik
Beliau memiliki daya Tarik yang kuat. Banyak tokoh masyarakat memandang sebelah mata Kiai Fauzi dengan melihat fisik Kiai Fauzi sehingga memunculkan kata-kata “masak hitam kecil itu kiai?.” Tubuhnya memang kecil dan hitam kulitnya, seperti seorang petani yang sering terkena matahari. Tapi tidak ada orang yang berani menyanggah apa yang keluar dari mulut beliau. Kharisma beliaulah yang menarik banyak santri dari Lasem untuk mengikuti beliau ke Jungpasir atas intruksi dari Kiai Ma’shum. Juga Gus Syauqi dari Jember “jatuh cinta” kepada sosok Kiai Fauzi dan rela tinggal di pesantren yang sama sekali belum mapan sarana dan prasarananya sebagaimana pesantren tempat tinggalnya di Jember.
Tegas dan Terbuka
Ada banyak tipe dan karakter kepemimpinan seorang Kiai. Diantara sebagai tipe kepemimpinan itu masing-masing memiliki kelebihan tersendiri. Pastinya seorang kiai akan menyesuaikan diri dengan karakter masyarakat, kemudian memilih metode yang tepat untuk memimpin. Tak lepas dari Kiai Fauzi, banyak narasumber menyimpulkan bahwa Kiai Fauzi itu Kiai yang demokratis, bukan berarti bila kiai dengan tipe otoriter itu tidak lebih baik. Kembali lagi pada diri kiai itu, dalam memilih tipe yang paling cocok untuk membina umatnya. Dengan demokrasi bisa tercipta inovasi untuk berjalan lebih baik. Dengan otoriter, prinsip dan tujuan tidak mudah tergoyahkan.
Disatu keadaan, Kiai Fauzi sangat terbuka dan menerima dengan semua masukan. Tapi disatu keadaan, adakalanya Kiai Fauzi mengambil langkah tegas dengan komitmen beliau. Semua ini tentu dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita perjuangan bersama. Karakter beliau sebagai seorang kiai demokratis begitu tampak saat Kiai Fauzi mengadakan musyawarah para kiai dan tokoh masyarakat dalam merintis MTs Bandar Alim. Beliau secara terbuka menerima masukan tentang perubahan nama Al-Ittihad menjadi Bandar Alim.
Disisi yang lain, beliau bersikap tegas dan komitmen saat ada usulan untuk memindahan letak bangunan MTs Bandar Alim yang dianggap kurang strategis. Beliau tetap mempertahankan komitmen dan prinsip beliau, bahwa MTs Bandar Alim harus diposisikan di tengah desa. Lembaga-lembaga pendidikan harus diletakkan tersebut rata diseluruh bagian desa, bukan disatukan dalam satu komplek, dengan harapan agar pendidikan masyarakat bisa merata.
Beliau tidak memvonis dengan keras dan sepihak atas suatu larangan. Salahsatunya ialah ketika beliau melarang pertunjukan orkes di desa. Beliau hanya mengambil sikap, tidak akan hadir dalam undangan mengisi tahlil disana. Bahasa beliau, mempersilahkan untuk ngaturi kiai lain. Padahal semua kiai itu merujuk kepada Kiai Fauzi. Pada tahun 1993, para pemuda dalam wadah organisasi Karang Taruna ingin mengadakan acara pertunjukan peringatan 17 Agustus. Akan tetapi mereka semua tidak berani karena mereka mengira bahwa Kiai Fauzi tidak ridla. Akhirnya Karang Taruna mendesak untuk sowan kepada Kiai Fauzi meminta pendapat tentang acara itu. Ternyata Kiai Fauzi menjawab dengan tegas bahwa beliau setuju, lalu bertanya bagaimana mekanismenya. Acaranya ialah menunjukkan pentas sen anak-anak madrasah dari TK sampai MTs. Kiai Fauzi mendukung dan beliau menambahkan usulan, bahwa malam tanggal 17 Agustus harus diadakan acara sujud syukur bersama sebagai wujud rasa terimakasih kepada para pejuang atas kemerdekaan dan kebebasan yang telah dirasakan bersama. Keputusan Kiai Fauzi itu merubah pemikiran para pemuda aktivis desa bahwa ternyata Kiai Fauzi itu sebenarnya terbuka dan demokratis.
Ikhlas dan dermawan
Kiai Fauzi mengajarkan dan memberikan teladan santrinya untuk ikhlas dalam mengabdi untuk masyarakat. Selama beliau mengajar di madrasah, bisyaroh yang beliau terima diberikan kembali untuk kepentingan operasional madrasah. Saat idul fitri, beliau pernah menerima zakat fitrah mencapai 8 karung, yang setiap karungnya ialah dari 1 kwintal. Semua itu diserahkan kepada pengurus pondok untuk para santrinya. Dimasa hidup beliau, rumah beliau terbuka kepada santrinya. Santri beliau boleh masuk ke ndalem untuk minum, tapi tidak boleh mengambil untuk dibawa keluar. Karena beliau berhati-hati, jangan sampai air minum tidak terminum dan sia-sia.
Akrab dan Bersahabat
Meskipun sebagai seorang ulama berwibawa dan kharismatik, Kiai Fauzi tetap bersahabat dan akrab dengan masyarakat, terlebih dahulu dengan santri-santri dan anak muda. Di Desa beliau akrab disapa dengan sebutan Kang Fauzi. Beliau jugas sering bermain catur dan santrinya. Permainan catur ini merupakan strategi beliau, dalam permainan catur ini beliau akan mempelajari dan memahami bagaimana karakter dan kewajiban lawannya.
Beliau jarang dan hamper tidak pernah tidur malam. Beliau selalu keluar berjalan menyusuri kampong di malam hari. Beliau mengamati aktivitas kampungnya di malam hari, yang akhirnya beliau mengetahui siapa dan dimana anak-anak muda yang suka nongkrong malam dipinggir jalan. Pada satu malam, beliau mengajak seorang anak muda, untuk ikut dengan beliau untuk jalan-jalan dan makan-makan ebak. Anak itu senang dan mau ikut. Kiai Fauzi membawa anak itu berangkat dengan mobil jemputan untuk hadir mengisi ceramah di acara pengajian besar. Sejak itu anak muda tadi menjadi halus tak berkutik, ia sadar, dan menjadi sangat sungkan kepada Kiai Fauzi.
Ahli Fiqih yang Cerdas
Didukung dengan cara berpikir yang maju, Kiai Fauzi juga merupakan sosok yang cerdas, sampai-sampai Kiai Fauzi itu sering dijuluki “kitab mlaku.” Beliau seakan hafal berbagai macam kitab. Dimanapun dan kapanpun semua persoalan hukumyang ditanyakan siapapun dijawab beliau seketika. Tentunya, hal ini sangat diperlukan dalam mengurai khazanah keilmuwan islam terutama referensi klasik kitab kuning dalam menjawab tantangan perubahan zaman untuk disesuaikan dengan praktek keislaman. Dari kemampuannya itu, beliau sangat menonjol dalam berbagai forum Bahtsul Masail di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, sampai ke Muktamar NU. Bahkan dalam Bahtsu Masail Thariqah, Kiai Salman Popongan yang paling terkenal sebagai mursyid thariqah tidak berkenaan memberikan keputusan dalam bahtsu masail selagi masih ada Kiai Fauzi. Beliau jugalah yang mebuka pemikiran rekan-rekan beliau di desa dalam bahtsu masail se-Jungpasir tiap selapan, sebulan sekali. Yang semakin hari kemudian dilanjutkan di lingkungan santri sendiri sampai sekarang. Untuk mengenang spesialis beliau dibidang ini, setiap tahun haul beliau diadakan acara bahtsu masail kubro antar pesantren se-Jawa.
Kiai Sufi dan Kiai Jawa
Corak sufistik menghiasi karakter para kiai Jawa termasuk Kiai Fauzi. Apa yang beliau peroleh dari berkenalan kepada para kiai guru beliau, mendapatkan ijazah berupa amalan-amalan puasa dan wirid. Beliau dapat memberikan ijazah kepada santri untuk puasa 3 sampai 6 tahun dengan mengamalkan membaca wirid Sholawat Dalailul Khoirot, kitab sholawat yang terkenal karya Syaikh Sulaiman al-Jazuli. Dan juga setiap tahun memberikan ijazah wirid Asmaul Husna yang diamalkan dengan puasa mutih selama 41 hari. Juga wirid-wirid yang dibaca pesantren setiap sehabis sholat itu semua merupakan ijazah dari Kiai Fauzi. Wirid dan Ijazah adalah sesuatu yang sangat penting dalam lingkungan komunitas islam Ahlusunnah Wal Jama’ah diseluruh dunia.
Penggemar Sepak Bola
Kiai Fauzi adalah seorang penggemar sepak bola. Beliau bahkan tak jarang meliburkan jadwal ngajinya untuk mengajak para santri untuk menonton pertandingan sepak bola bersama di TV. Hal ini terbilang unik dan aneh bagi seorang kiai. Mungkin hal ini salah satu bentuk pendekatan emosional beliau dengan anak-anak santri. Beliau tetap mempunyai keistiqomahan, setelah menonton harus ngaji, tidak ada kata libur untuk ngaji meskipun nonton bola. Kiai Fauzi juga mewajibkan pada santri-santri beliau untuk berolahraga dua kali setiap minggu.
Banyak Kramat
Kiai Fauzi adalah sosok yang seakan-akan dikeramatkan oleh masyarakat saking begitu besar pengaruhnya. Beliau terkenal doanya makbul dan ucapannya menjadi kenyataan. Diantaranya beliau pernah mengucapkan “nanti, antara rumah saya sampai masjid sana rumah-rumah akan menjadi bangunan bertingkat.” Itu adalah isyarat akan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat dikemudian hari. Padahal kata-kata itu keluar ketika pada masa carut-marutnya perekonomian Indonesia tahun 1965.
Pada masa peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1965, beliau pernah membekali santri beliau dengan ijazah ilmu-ilmu kanuragan. Namun setelah berlalu masa ancaman PKI itu, ijazah yang beliau berikan itu diminta kembali. Meskipun beliau adalah orang yang sakti dan ahli ilmu kanuragan. Beliau tidak mau mengajarkan kepada santrinya, karena hal itu dianggap kurang penting dan berbahaya bagi kejiwaan mereka. Apa yang lebih manfaat bagi para santri ialah apa yang diharapkan oleh beliau dalam doanya, agar semua santri beliau menjadi orang yang bermanfaat, iai diberi kelebihan dalam harta benda untuk mendukung jalan dakwah. Ada diantara snatri beliau menjadi kiai besar yang mengasuh pesantren dengan santri ribuan, jumlah yang lebih besar dari jumlah santri beliau sendiri yang tidak mencapai angka 500. Ada juga diantara santri beliau yang sangat sulit ekonominya waktu belajar di pondok, tapi kemudian menjadi orang kaya raya dan snagat dermawan.
Pernah suatu ketika, santri alumni beliau yang bekerja di Jakarta mendapat kabar bahwa pondoknya sedang ada pembangunan, sedang ia sendiri tak punya uang. Ia memaksakan diri untuk berhutang beberapa juta kepada bosnya untuk disumbangkan pembangunan pesantren. Ketika ia kembali ke pondok, ia mendapatkan rizeki yang tak terduga asalnya yang ebih dari jumlah uang yang disumbangnya. Banyak santri beliau yang mendapatkan dhawuh secara khusus yang menggambarkan masa depan santri tersebut akan sebuah isyarat mengenai tantangn yang akan dihadapinya atau takdir yang akan dijalani santrinya tersebut.
Kiai Fauzi dulu pernah beberapa kali menikahkan jin, dan hal ini sering disaksikan oleh santri beliau sekitar jam 2 malam. Hanya saja pada saat itu santrinya baru ada 10 orang. Ada lampu stongkring terpasang dan tidak ada siapa-siapa kecuali Kiai Fauzi yang terlihat dalam remang-remag dengan suaranya menikahkan orang. Pada saat itulah acara walimah yang dihadiri para jin.
Ketika Kiai Fauzi menghadiri acara, menurut adat yang berlaku, biasanya ada 2 amplop. Satu untuk sumbangan masjid, dan satu lagi untuk bisyaroh kiai. Dan biasanya amplop untuk masjid nominalnya harus lebih besar, namun khusus untuk mengahadirkan Kiai Fauzi, panitia mengalokasikan nominal yang lebih besar untuk kiai daripada untuk masjid. Alasannya, hal ini sudah diyakini pasti apa yang diberikan pada Kiai Fauzi lebih besar, pasti berkahnya nanti lebih besar.
“Di susun dalam rangka memenuhi salah satu Tugas pada
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam”
Dosen Pengampu : Khoirul Anwar, M.Ag.
DI SUSUN OLEH :
Ilva Safriyati (33010190131
FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM KELAS D
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
Selayang Pandang Desa Jungpasir
Jungpasir adalah sebuah desa di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak Jawa Tengah. Desa Jungpasir memilki luas tanah sebesar 341,5 ha dengan luas pemukiman 37 ha yang terdiri dari 3 dusun, yaitu bajangan, jungpasir, dan ngemplik. Kepadatan penduduk mencapai angka 5733 jiwa menurut data sensus penduduk tahun 2014. Basis ekonomi masyarakat mayoritas ialah bidang pertanian dengan luas lahan mencapai 287,5 ha. Kualitas SDM masyarakat terbilang menengah keatas. Di desa santri yang kental dengan nuansa keislaman ini telah berdiri beberapa lembaga pendidika formal diantaranya TK, SD, MI, MTs, MA, SMK, dan lembaga pendidikan non-formal lain yang letak geografisnya tersebar di seluruh desa.
Sejarah mencatat beberapa nama tokoh yang mempunyai peran besar dalam pengembangan masyarakat, salah satunya ialah Kiai Abu Rustam seorang tokoh masyarakat dan guru tarekat yang berperan besar pada masyarakat dimasa pertengahan abad 20. Pada masa sekarang, setiap tahun masyarakat Jungpasir menggelar acara Haul KH. Abdussalam dan KH. Fauzi Noor, 2 tokoh bersaudara yang memperjuangkan pendidikan masyarakat Desa Jungpasir.
Riwayat Hidup Kiai Fauzi Noor
KH. Fauzi Noor lahir di Jungpasir, 27 Agustus 1943 – meninggal pada 19 Januari 1999 pada usia 56 tahun. Beliau adalah seorang tokoh perjuangan pendidikan di Demak, khususnya di Desa Jungpasir sebagai tempat tinggal dan kelahiran beliau. Beliau merintis berdirinya Pondok Pesantren Al-Ittihad di kediaman beliau sendiri, dan juga memprakarsai berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal di Desa Jungpasir.
Silsilah Keluarga
Nama lengkap silsilah beliau ialah KH. Fauzi Noor bin H. Manshur bin Sarjan. Haji Manshur ialah seorang modin dan tinggal di Desa Jungpasir berlatar pendidika pesantren. Beliau berasal dari Desa Tedunan, desa yang tidak jauh dari Jungpasir. Bapak Sarjan ialah seorang kepala Desa Tedunan,. Beliau juga masih punya hubungan kerabat dengan tokoh kiai besar dari Desa Tedunan, KH. Abdul Hadi dan KH. Abdurrahim.
Dari kecerdasan dan potensinya sebagai santri, Haji Manshur menikah dengan Hj. Asmanah putri H. Sulaiman yang terpandang di Desa Jungpasir. Kisahnya, namanya Manshur ialah setelah menunaikan ibadah haji bersama dan atas biaya H. Aulaiman. Yang sebelumnya Manshur bernama Adnan.
Dari keluarga H. Manshur dan Hj. Asmanah, dalam keluarga sederhana namun kental dengan nuansa islami inilah, lahir putra-putri yang meeruskan cita-cita ayahnya, yaitu ;
KH. Abdussalam
KH. Asymuni
Hj. Zulfa
KH. Fauzi Noor
KH. Farokhi
Nyai Mastikah
Dari 6 bersaudara ini, yang paling berperan dalam membentuk karakter seorang KH. Fauzi Noor ialah kakaknya, KH. Abdussalam, yang banyak memberikan arahan dalam pendidikan KH. Fauzi Noor dan adiknya KH. Farokhijuga banyak menemani dalam menjalani langkah-langkah belajar beliau. Haji Manshur wafat sekitar tahun 1950, sedangkan Kiai Abdussalam wafat pada tahun 1980.
Pendidikan
Masa Kecil
Riwayat sejarah pendidikan beliau ialah menggembala kambing sejak kecil bersama adiknya, Kiai Farokhi. Pernah suatu saat ia bermimpi bahwa kakaknya, KH. Abdussalam tengah berternak bebek, yang merupakan pertanda bahwa KH. Abdussalam berkiprah dalam pendidikan anak-anak belajar Al-Quran di Madrasah Diniyah sebagai seorang pendiri dan kepala madrasah pertama. “mungkinkah aku nanti akan menggembalakan manusia-manusia yang lebih besar seperti kambing-kambingku ini?.” Hal ini diceritakan oleh adik beliau, KH. Farokhi.
Pendidikan formalnya dimulai ddari bangku SD di Desa Mutih Kulon yang tak jauh dari Jungpasir. Dan juga belajar ilmu agama setiap sore di bangku Madrasah Diniyah dalam bimbingan kakaknya, KH. Abdussalam. Ia mengisi waktu luangnya dengan menggembala kambing bersama Kiai Farokhi adiknya.
Sekolah dan Mondok
Haji Manshur mempunyai cita-cita agar Fauzi juga saudara-saudaranya belajar di pesantren dan menjadi kiai meneruskan perjuangan sang ayah. Oleh karena itu, setamat sekolah pendidikan dasar, Fauzi dipondokkan di Pondok Pesantren Al-Fattah Kembangan Demak. Akan tetapi Kiai Fauzi “mencuri” waktu untuk menimba ilmu di PGA Demak. Setelah 1 tahun dan dikemudian hari ayahnya mengetahui, ia dipindah.
Beliau dipindahkan ke pesantren KH. Aholeh Gleget di Mayong Jepara selama 2 tahun. Belakangan kemudian diketahui ternyata meskipun tidak sekolah Fauzi masih suka membuka mata pelajaran umum, kemudian dipindah di Pesantren Salafiyah Kajen, dibawah asuhan Kiai Baidlowi.
Di kajen, Fauzi masih punya semangat sekolah, ia masih saja mencuri waktu untuk belajar di Sekolah Menengah Islam (sekolah setara SMP/Sederajat). Akan tetapi sekolah itu hanya dijalaninya selama setahun.
Pengalaman belajar di Kajen yan dijalaninya selama 3 tahun inilah yang menjadi motivasi beliau dalam perjuangan di masyarakat nanti.
Beliau merasa terbuka dan tenang dalam kesibukannya belajar ilmu agama. Disamping itu, ia juga bertekad menjalani puasa. Ia memperoleh amalan Puasa Dala’il dari Kiai Ahmad Ibrahim dan Kiai Yasin Mbareng. Ditambah lagi lebih dalam dari Kiai Sa’id Rowo Kirik Kudus.
Mengabdi Pada Kiai Ma’shum
Di Kajen, beliau pernah bermimpi bahwa dirinya menghabiskan nasi makanan santri seluruh pondok. Mimpinya tersebut dihaturkan kepada Kiai Baidlowi mengartikan bahwa itu isyarat bahwa Fauzi itu akan menghabiskan ilmunya orang sepondok. Masa belajarnya di Kajen 3 tahun ini dicukupkan, dan sementara itu abahnya mendapatkan dhawuh agar Fauzi di pindah ke Lasem. Diantar oleh kakaknya, Kiai abdussalam, mondok di Pesantren Al-Hidayah dibawah asuhan Kiai Ma’shum Lasem.
Dari penuturan Kiai Farokhi, Kiai Fauzi sering terjaga diwaktu malam untuk tahajud, bermunajat, dan belajar. Kiai Fauzi seringkali keluar malam ke halaman pondok memandang lingkungan sekitar, memandang langit dan bumi.
Masih dianggap anak baru, yang belum genap mondok 2 tahun, suatu ketika Mbah Ma’shum membuat pengumuman tertulis dengan tangan beliau sendiri, bahwa nanti yang akan memaca kitab ialah Fauzi Noor Demak. Sejak saat itulah reputasi beliau sebagai santri melebihi santri-santri yang lebih senior. Beliau menjadi pengajar, yang sering menggantikan (menjadi badal) Kiai Ma’shum mengajar ketika sedang ada udzur. Kiai Ma’shum selalu menyebutnya “Jago Demak”. Pada awalnya Kiai Fauzi merasa tidak yakin akan kemampuan dirinya, namun Mbah Ma’shum berpesan, ketika menjumpai kesulitan bacakan saja Surat-Alfatihah untuknya dn pengarang kitab yang sedang dibaca. Dan ternyata memang benar, seolah ada yang memberikan pengertian dan menjadikan beliau faham seketika. Sejak itulah beliau tidak pernah menjumpai kesulitan apapun dalam khazanah keilmuwan kitab-kitab salaf disekelilingnya.
Di saat-saat tertentu ketika bahtsu masail ada orang yang membantah pemahaman beliau terkadang beliau terlanjur mengatakan kehadiran mualif dan mualif sendiri yang mengatakan kepada beliau.
Kiai Fauzi mengikuti forum-forum Bahtsu Masail Kubro antar pesantren. Sejak itulah public mulai mengenal sosok Kiai Fauzi. Setelah menikah dan punya santri di kampong halamannya, beliau masih berangkat ke Lasem setiap Sya’ban sampai Ramadhan untuk mengajar.
Dari pengalaman santri beliau di Lasem, ketika Kiai Fauzi menarget khatam Kitab Shahih Muslim selama 21 hari, maka mengajinya setiap hari sehabis isya’ duduk bersila ngasahi kitab sampai jam 1 malam.
Di Lasem beliau juga sempat untuk belajar kepada beberapa Kiai. Diantaranya, beliau mengikuti kajian kitab Al-Itqan pada persinggaan rihlah safari Kiai Dimyathi Pandeglang BAnten selama beberapa bulan. Kiai Fauzi menjadi kenal dan dekat dengan Kiai Dimyathi dalam masa singgahnya untuk mengajar di Masjid Lasem. Setelah khatam, Kiai Fauzi mengikuti perjalanan Kiai Dimathi ke Rembang, mengaji kitab yang lain selama setahun.
Kiai Fauzi juga sempat berguru Thariqah Naqsyabadiyah kepada Kiai Abdullah Khafid Rembang.
Menikah
Beliau menikah dengan Nyai Hj. Amin Zahroh, putri H. Abdur Rohim yang berlatar belakang keluarga terpandang, dalam usia yang terpaut sangat jauh. Kiai Fauzi dalam usia mudanya, 24 tahun, sedangakan Nyai Hj. Amin Zahroh dalam usia masih kecil, 12 tahun. Mertuanya inilah yang membiayai ongkos untuk kembali ke Lasem.
Memang menjadi tradisi di masa dulu, santri yang punya potensi besar dan pengaruh akan mendapat banyak dukungan secara moril maupun materil oleh masyarakat, terlebih dari kalangan orang terpandang yang peduli pendidikan, banyak juga santri itu yang akhirnya menjadi bagian keluarga tersebut. Tak kecuali Kiai Fauzi.
Pernikahan Kiai Fauzi Noor dengan Nyai Hj. Amin Zahroh melahirkan putra-putri yang melanjutkan perjuangan beliau ;
Ibrahim, meninggal waktu masih bayi.
Nyai Hj. Elok Hafidzoh
KH. Agus Manshur, M.Eng. Sc.
Ma’shumatul Faidzoh
Lailatul Fajriyah
Amirotul Azizah
Sarifatul Mukaromah
Panggilan ke Tanah Suci
Beliau pertama kali mengunjungi Tanah Suci untuk berhaji pada tahun 1975. Sampai wafat beliau telah menunaikan haji 6 kali. Kunjungan ke tahan suci pada waktu itu menggunakan kendaraan kapal, sehingga setiap kunjungan beliau ke tanah suci memakan waktu sampai lebih dari 3 bulan.
Wafat
Kiai Fauzi meninggal dunia setelah Shalat Isya’ tepat pada malam Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1420 Hijriyah bertepatan tanggal 19 januari 1999, dalam usia 56 tahun. Menjelang wafat, kesehatan fisik beliau memang kurang baik, tapi masih aktif mengajar dan mengimami sholat. Sampai akhirnya sakit beliau yang parah dirujuk ke Rumah Sakit Islam Kudus dan berpulang ke Rahmatullah.
Ada ribuan peziarah saat prosesi pemakaman beliau. Ini menandakan bahwa beliau merupakan seorang kiai karismatik yang menjabat sebagai Rois Syuriah Demak 2 periode yang mempunyai pengaruh besar di lingkungan masyarakat Demak dan sekitarnya. Saking banyaknya peziarah yang ikut menshalatkan beliau, keranda jenazah beliau tidak di pikul, tapi berjalan diangkat secara estafet oleh tangan-tangan para peziarah dengan rapi sampai ke lokasi pemakaman.
Beliau dimakamkan di komplek pemakaman Desa Jungpasir. Makam beliau begitu sederhana hanya diberi persegi panjang dengan gundukan batu-batuan kecil berwarna putih. Makamnya bertuliskan “KH. Fauzi Noor, wafat 1 Syawal 1420 H.” disamping makam KH. Abdussalam kakak beliau, dan orang tua beliau H. Manshur dan Hj. Asmanah.
Peran dan Kiprah Kiai Fauzi dalam Pengembangan Masyarakat
Kiai Fauzi pernah meras gelisah memandang Desa Jungpasir hanya berputar dalam bidang pertanian. Disini beliau memandang bahwa keadaan ini tidak akan bias mencetuskan cita-cita tinggi Jungpasir. Beliau juga mendapat pengarahan dari KH. Abdurrahim Tedunan seorang ulama sepuh muryid terkenal Thariqah Naqsyabandiyah, dalam perjuangan dakwah beliau. Kiai Farokhi menuturkan, bahwa memang sejak `kecil Kiai Fauzi dan saudara-saudaranya sering berkunjung sillaturahmi ke Kiai Haji Abdul Hadi dan Kiai Haji Abdurrahim di Tedunan.
Mendirikan Pesantren
Pada tahun 1971 Kiai Fauzi pulang ke kampong halaman dan mulai mengabdikan diri dalam pemberdayaan masyarakat. Namun beliau masih pulang-pergi ke Lasem, untuk mengajar setiap Sya’ban sampai Ramadhan. Ada sekitar 10 anak santri menetap dan anak kampung yang ikut mengaji berangkat dari rumah. Pesantren saat itu belum memiliki bangunan dan belum ada namanya. Para santri ditempatkan di 2 kamar sederhana kepunyaan Kiai Abdussalam. Mengajinya dirumah Kiai Abdurrahim Jungpasir mertua beliau yang jaraknya agak jauh. Santri-santri angkatan pertama ialah murid beliau dari Lasem yang ingin melanjutkan mengaji kepada Kiai Fauzi atas intruksi dari Mbah Ma;shum sendiri.
Kiai Fauzi baru benar-benar menetap di Jungpasir pada tahun 1976. Beliau menghidupkan kegiatan majelis ta’lim untuk masyarakat belajar tata sholat setiap hari Selasa, karena pada saat itu tidak sedikit juga orang yang belum benar bahkan belum bias sholat. Dan setiap hari Jum’at diadakan kajian kitab. Banyak orang yang senang mendengarkan ceramah dan nasehat beliau.
Awal mula pesantren itu benama “Nahdlatul Talamidz” yang artinya “Kebangkitan Murid-murid.” Dengan sebuah bangunan gubuk bambu dengan tiang penyangga dari kayu jati.
Pada perkembangannya, pesantren itu mendapat dukungan kuat dari berbagai lapisan masyarakat. Maka semangat persatuan gotong royong ini dijaga dalam perubahan nama menjadi “Al-Ittihad” banyak anak-anak desa dan sekitar ikut mengaji di pondok. Ada banyak santri mukim dari daerah yang jauh, tapi banyak juga santri kalong dari desa sendiri dan desa-desa tetangga.
Diantara berbagai dukungan yang masuk, ada beberapa respon negative dari sebagian kecil golongan dan masyarakat dengan berbagai dalih, namun itu semua tidak menjadi penghalang perjuangan Kiai Fauzi. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam setiap perjuangan selalu dihadang rintangan. Dzikir-dzikir berjama’ah yang dibaca di pesantren menjadi tameng ruhaniyah para santri.
Asal mula penerimaan santri putri diawali kehadiran seorang santri dari Sumatera untuk nyantri dengan membawa istrinya. Disamping itu putri pertama Kiai Fauzi, yakni Nyai Hj. Elok Hafidzoh telah pulang dari pesantren Lasem. Beliau juga seorang penghafal Al-Quran alumni Pondok Pesantren Yanbu’ul Quran asuhan Kiai Arwani Kudus. Banyak juga minat dari masyarakat kalangan perempuan untuk mengaji di Pesantren Al-Ittihad. Sejak tahun 1955, Pesantren Al-Ittihad telah membuka pendaftaran bagi snatri putri untuk menghafal Al-Quran dibawah bimbingan Hj. Elok Hafidzoh.
Pada saat ini kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Ittihad diwarisi oleh putra beliau, KH. Agus Mansur, M. Eng, Sc. dibantu oleh Kh. Abdur Rohim, yang merupakan santri sekaligus menantu Kiai Fauzi sendiri, suami dari Ibu Nyai Hj. Hafidzoh.
Mendirikan Madrasah
Kiai Fauzi juga berkiprah membangun madrasah di Desa Jungpasir. Meskipun tidak semua madrasah, tapi pelopor utama yang menggerakkan masyarakat untuk berbenah dalam bidang pendidikan ialah Kiai Abdussalam, yang dikembangkan oleh Kiai Fauzi. Pada mulanya telah berdiri Madrasah Diniyah yang didirikan oleh KH. Abdussalam, yang dikembangkan oleh KH. Fauzi menjadi sampai ke jenjang Wustho dan Ulya bagi anak pondok dan umum. Kiai Fauzi mengawasi perkembangan lembaga-lembaga pendidikannya dalam yayasan yang menaungi Pesantren Al-Ittihad, yakni Yayasan Al-Ittihad Al-Manshuriyah menaungi beberapa lembaga pendidikan mulai dari PIAUD, TK, TPQ, sampai akhirnya pada tahun 2011 melahirkan SMK Multimedia Al-Ittihad. Kiai Fauzi juga menggagas berdirinya sekolah formal MI dan Mts. Mi Al-Ittihad kemudian lepas dari naungan yayasan Al-Ittihad Al-Manshuriyah karena berubah statusnya menjadi negeri. Adapun Mts dan Ma berada dibawah Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan Muslimin yang diberdayakan oleh masyarakat.
MI Negeri Jungpasir
Sebelumnya lembaga pendidikan formal hanyalah SDN Jungpasir dan dipandang kurang begitu berperan dalam mendidik masyarakat Jungpasir. Maka Kiai Fauzi dan Kiai Abdussalam menggagas berdirinya sebuah madrasah tingkat dasar.
Pada tahun 1969, musyawarah pertama pendirian itu dilaksanakan pada Hari Jum’at pagi, berjumlah 7 orang dikantor organisasi islam Jungpasir (sekarang Kantor Mts Bandar alim), kemudian berdirilah MWB (Madrasah Wajib Belajar) di sebelah Masjid Jungpasir. Pada taun 1970, MWB yang pada sata itu hanya sampai jenjang kelas 3, berubah menjadi MI Al-Ittihad yang sampai kelas 6. Sampai tahun 1985, jumlah siswa mencapai 143 anak. Kepala MI Al-Ittihad pertama ialah Kiai Abdussalam, lalu dilanjutkan Kiai Fauzi, kemudian Kiai Ahmad hasyim. Sejak tahun 1971 kepemimpinan dipegang oleh Kiai Misbah.
Pada tahun 1991, MI Al-Ittihad masih sangat kekurangan dana untuk biaya operasional, akhirnya mengajukan usulan pada pemerintah untuk dinegerikan. Akhirnya menjadi MIN Jungpasir dengan SK Pemerintah tertanggal 25 Noember 1995. Kiai Misbah masih menjadi kepala madrasah lagi sampai tahun 2003. Jabatan kepala madrasah dipegan oleh Ibu Muthomimah, S.Pd.I dan sekarang di ganti oleh Bapak Agus
MTs Bandar Alim
Secara umum, latar belakang didirikannya MTs Bandar Alim Jungpasir ialah menciptakan lembaga pendidikan yang lebih tinggi untuk pemberdayaan masyarakat. Melihat keberhasilan dalam merintis MIN Jungpasir, akhirnya munculkan ide untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang lebih tinggi, yaitu merintis sebuah Madrasah Tsanawiyah tepatnya pada pertengahan tahun 1977.
Pada bulan September 1977 MTs Al-Ittihad telah melangsungkan kegiatan belajar mengajar dan 10 siswa yang sebagian besar dari anak pondok dan sebagian kecil dari anak kampong. Fasilitas madrasah masih serba kekurangan. Para pengajarnya ialah para pendiri dari tokoh-tokoh masyarakat, diantaranya ialah:
Kiai Fauzi sendiri sebagai kepala sekolah
Bapak H. Ali Asrori, akrab dengan sapaan “pak carik”
Pak Abdullah Nashir
Pak Samsul Hadi
Pak Sayuti Anwar
Pak Baidhowi Marzuki
Pak Khoirul Ulum
Karena berbagai kekurangan dan kendala, akhirnya pada bulan April 1978 kegiatan belajar-mengajar di MTs AL-Ittihad berhenti. 2 tahun kemudian, sekitar tahun 1980-an, Kiai Fauzi berusaha menghidupkan lagi. Beliau mengumpulkan para Kiai dan tokoh masyarakat, diantaranya ialah ; KH.Ubaidun Shofwan, KH. Sholeh Zainuri, dan KH. Ahmad Hasyim. Dari musyawarah tersebut, ada usulan dari KH. Sholeh Zainuri untuk merubah nama Al-Ittihad dengan tujuan agar timbul kesan bahwa MTs ini ialah milik bersama seluruh lapisan masyarakat. Akhirnya Kiai Fauzi menyetujuinya.
Nama baru yang disepakati ialah Bandar Alim. Yang artinya Desa Jungpasir ini ialah tempat berlabuhnya orang-orang alim. Nama Bandar Alim ini ialah seenarnya nama Dukuh Bajangan. Sejarah dari Dukuh Bajangan pernah diberi julukan Bandar Alim karena banyak orang-orang alim di Dukuh ini. Namun, dikembalikan menjadi Bajangan, agar nama tokoh bersejarah “Mbah Bajang” di Desa Jungpasir khususnya Dukuh Bajangan ini tetap hidup dan dikenang.
Mengenai letak geografis, dulu ada perselisihan diantara para founding fathers. Ada diantaranya yang berpendapat bahwa letak posisina kurang strtegis, juga tidak berkumpul dalam satu komplek yang besar. Tapi Kiai Fauzi punya komitmen, bahwa jenjang lembaga pendidikan anak Desa Jungpasir bias merata. Dan MTs ini memang harus ada di tengah desa. Sebelumnya telah berdiri MI di utara, dan sebelah barat jauh-jauh hari telah berdiri SD.
Sekitar tahun 1983, jumlah siswa sudah mencapai angka 500. Karena pada saat ini ada beberapa lembaga pendidikan sederajat baru didirikan, perkembangan kuantitas menurun, pada tahun ini ada 337 anak. Sampai tahun ini, MTs Bandar Alim telah meluluskan hamper 4000 siswa. Meskipun kurikulum mengacu pada Kementrian Agama, pihak madrasah punya komitmen menambah penekanan pada mata pelajaran islam, terkhusus pada kitab kuning, seperti Ta’limul Muta’allim, Faroidl, dan Nahwu-Shorof yang lebih utama. Juga program hafalan bersertifikat, yang menjadi syarat kenaikan kelas, diantaranya; Asmaul Husna dan Juz Amma untuk kelas 7, Surat Yasin dan Al-Waqiah untuk kelas 8. Dan hafalan itu semua berijazah dari para kiai sepuh, dengan keyakinan bahwa sanad ijazah itu nanti pasti berkahnya. Adapun talil tidak dimasukkan karena dianggap telah familiar.
Karir Organisasi
Karir organisasi beliau ialah sejak memulai berkiprah di desa, beliau menjadi sentral semua bidang dakwah di Jungpasir, terlebih dalam organisasi NU. Kiprah beliau dalam organisasi NU dimulai di desa, semenjak meninggalnya kakak beliau, Kiai Abdusslam di tahun ’80-an, Kiai Fauzi menggantikannya sebagai ketua NU Ranting Jungpasir dan menghidupkan kembali kegiatan yang pernah berhenti beberapa waktu semenjak wafatnya KH. Abdussalam. Mulai tahun 1988 beliau menghubungkan NU Ranting Jungpasir dengan Anak Cabang Wedung agar lebih luas kiprahnya, karena saat itu dipandang selama ini NU Ranting hanya berputar dalam perkumpulan jam’iyahan dan ngaji. Sejak tahun 1990-an beliau sudah berkiprah di NU Kabupaten, sampai akhirnya menjadi Rois Syuriah NU Demak sekitar tahun 1995 dan terpilih lagi sampai beliau wafat. Beliau juga dipilih menjadi anggota wakil utusan PW. NU Jawa Tengah dalam Bathsul Masail Nasional dan Muktamar NU.
Karakter dan Kepribadian Kiai Fauzi
Kharismatik
Beliau memiliki daya Tarik yang kuat. Banyak tokoh masyarakat memandang sebelah mata Kiai Fauzi dengan melihat fisik Kiai Fauzi sehingga memunculkan kata-kata “masak hitam kecil itu kiai?.” Tubuhnya memang kecil dan hitam kulitnya, seperti seorang petani yang sering terkena matahari. Tapi tidak ada orang yang berani menyanggah apa yang keluar dari mulut beliau. Kharisma beliaulah yang menarik banyak santri dari Lasem untuk mengikuti beliau ke Jungpasir atas intruksi dari Kiai Ma’shum. Juga Gus Syauqi dari Jember “jatuh cinta” kepada sosok Kiai Fauzi dan rela tinggal di pesantren yang sama sekali belum mapan sarana dan prasarananya sebagaimana pesantren tempat tinggalnya di Jember.
Tegas dan Terbuka
Ada banyak tipe dan karakter kepemimpinan seorang Kiai. Diantara sebagai tipe kepemimpinan itu masing-masing memiliki kelebihan tersendiri. Pastinya seorang kiai akan menyesuaikan diri dengan karakter masyarakat, kemudian memilih metode yang tepat untuk memimpin. Tak lepas dari Kiai Fauzi, banyak narasumber menyimpulkan bahwa Kiai Fauzi itu Kiai yang demokratis, bukan berarti bila kiai dengan tipe otoriter itu tidak lebih baik. Kembali lagi pada diri kiai itu, dalam memilih tipe yang paling cocok untuk membina umatnya. Dengan demokrasi bisa tercipta inovasi untuk berjalan lebih baik. Dengan otoriter, prinsip dan tujuan tidak mudah tergoyahkan.
Disatu keadaan, Kiai Fauzi sangat terbuka dan menerima dengan semua masukan. Tapi disatu keadaan, adakalanya Kiai Fauzi mengambil langkah tegas dengan komitmen beliau. Semua ini tentu dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita perjuangan bersama. Karakter beliau sebagai seorang kiai demokratis begitu tampak saat Kiai Fauzi mengadakan musyawarah para kiai dan tokoh masyarakat dalam merintis MTs Bandar Alim. Beliau secara terbuka menerima masukan tentang perubahan nama Al-Ittihad menjadi Bandar Alim.
Disisi yang lain, beliau bersikap tegas dan komitmen saat ada usulan untuk memindahan letak bangunan MTs Bandar Alim yang dianggap kurang strategis. Beliau tetap mempertahankan komitmen dan prinsip beliau, bahwa MTs Bandar Alim harus diposisikan di tengah desa. Lembaga-lembaga pendidikan harus diletakkan tersebut rata diseluruh bagian desa, bukan disatukan dalam satu komplek, dengan harapan agar pendidikan masyarakat bisa merata.
Beliau tidak memvonis dengan keras dan sepihak atas suatu larangan. Salahsatunya ialah ketika beliau melarang pertunjukan orkes di desa. Beliau hanya mengambil sikap, tidak akan hadir dalam undangan mengisi tahlil disana. Bahasa beliau, mempersilahkan untuk ngaturi kiai lain. Padahal semua kiai itu merujuk kepada Kiai Fauzi. Pada tahun 1993, para pemuda dalam wadah organisasi Karang Taruna ingin mengadakan acara pertunjukan peringatan 17 Agustus. Akan tetapi mereka semua tidak berani karena mereka mengira bahwa Kiai Fauzi tidak ridla. Akhirnya Karang Taruna mendesak untuk sowan kepada Kiai Fauzi meminta pendapat tentang acara itu. Ternyata Kiai Fauzi menjawab dengan tegas bahwa beliau setuju, lalu bertanya bagaimana mekanismenya. Acaranya ialah menunjukkan pentas sen anak-anak madrasah dari TK sampai MTs. Kiai Fauzi mendukung dan beliau menambahkan usulan, bahwa malam tanggal 17 Agustus harus diadakan acara sujud syukur bersama sebagai wujud rasa terimakasih kepada para pejuang atas kemerdekaan dan kebebasan yang telah dirasakan bersama. Keputusan Kiai Fauzi itu merubah pemikiran para pemuda aktivis desa bahwa ternyata Kiai Fauzi itu sebenarnya terbuka dan demokratis.
Ikhlas dan dermawan
Kiai Fauzi mengajarkan dan memberikan teladan santrinya untuk ikhlas dalam mengabdi untuk masyarakat. Selama beliau mengajar di madrasah, bisyaroh yang beliau terima diberikan kembali untuk kepentingan operasional madrasah. Saat idul fitri, beliau pernah menerima zakat fitrah mencapai 8 karung, yang setiap karungnya ialah dari 1 kwintal. Semua itu diserahkan kepada pengurus pondok untuk para santrinya. Dimasa hidup beliau, rumah beliau terbuka kepada santrinya. Santri beliau boleh masuk ke ndalem untuk minum, tapi tidak boleh mengambil untuk dibawa keluar. Karena beliau berhati-hati, jangan sampai air minum tidak terminum dan sia-sia.
Akrab dan Bersahabat
Meskipun sebagai seorang ulama berwibawa dan kharismatik, Kiai Fauzi tetap bersahabat dan akrab dengan masyarakat, terlebih dahulu dengan santri-santri dan anak muda. Di Desa beliau akrab disapa dengan sebutan Kang Fauzi. Beliau jugas sering bermain catur dan santrinya. Permainan catur ini merupakan strategi beliau, dalam permainan catur ini beliau akan mempelajari dan memahami bagaimana karakter dan kewajiban lawannya.
Beliau jarang dan hamper tidak pernah tidur malam. Beliau selalu keluar berjalan menyusuri kampong di malam hari. Beliau mengamati aktivitas kampungnya di malam hari, yang akhirnya beliau mengetahui siapa dan dimana anak-anak muda yang suka nongkrong malam dipinggir jalan. Pada satu malam, beliau mengajak seorang anak muda, untuk ikut dengan beliau untuk jalan-jalan dan makan-makan ebak. Anak itu senang dan mau ikut. Kiai Fauzi membawa anak itu berangkat dengan mobil jemputan untuk hadir mengisi ceramah di acara pengajian besar. Sejak itu anak muda tadi menjadi halus tak berkutik, ia sadar, dan menjadi sangat sungkan kepada Kiai Fauzi.
Ahli Fiqih yang Cerdas
Didukung dengan cara berpikir yang maju, Kiai Fauzi juga merupakan sosok yang cerdas, sampai-sampai Kiai Fauzi itu sering dijuluki “kitab mlaku.” Beliau seakan hafal berbagai macam kitab. Dimanapun dan kapanpun semua persoalan hukumyang ditanyakan siapapun dijawab beliau seketika. Tentunya, hal ini sangat diperlukan dalam mengurai khazanah keilmuwan islam terutama referensi klasik kitab kuning dalam menjawab tantangan perubahan zaman untuk disesuaikan dengan praktek keislaman. Dari kemampuannya itu, beliau sangat menonjol dalam berbagai forum Bahtsul Masail di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, sampai ke Muktamar NU. Bahkan dalam Bahtsu Masail Thariqah, Kiai Salman Popongan yang paling terkenal sebagai mursyid thariqah tidak berkenaan memberikan keputusan dalam bahtsu masail selagi masih ada Kiai Fauzi. Beliau jugalah yang mebuka pemikiran rekan-rekan beliau di desa dalam bahtsu masail se-Jungpasir tiap selapan, sebulan sekali. Yang semakin hari kemudian dilanjutkan di lingkungan santri sendiri sampai sekarang. Untuk mengenang spesialis beliau dibidang ini, setiap tahun haul beliau diadakan acara bahtsu masail kubro antar pesantren se-Jawa.
Kiai Sufi dan Kiai Jawa
Corak sufistik menghiasi karakter para kiai Jawa termasuk Kiai Fauzi. Apa yang beliau peroleh dari berkenalan kepada para kiai guru beliau, mendapatkan ijazah berupa amalan-amalan puasa dan wirid. Beliau dapat memberikan ijazah kepada santri untuk puasa 3 sampai 6 tahun dengan mengamalkan membaca wirid Sholawat Dalailul Khoirot, kitab sholawat yang terkenal karya Syaikh Sulaiman al-Jazuli. Dan juga setiap tahun memberikan ijazah wirid Asmaul Husna yang diamalkan dengan puasa mutih selama 41 hari. Juga wirid-wirid yang dibaca pesantren setiap sehabis sholat itu semua merupakan ijazah dari Kiai Fauzi. Wirid dan Ijazah adalah sesuatu yang sangat penting dalam lingkungan komunitas islam Ahlusunnah Wal Jama’ah diseluruh dunia.
Penggemar Sepak Bola
Kiai Fauzi adalah seorang penggemar sepak bola. Beliau bahkan tak jarang meliburkan jadwal ngajinya untuk mengajak para santri untuk menonton pertandingan sepak bola bersama di TV. Hal ini terbilang unik dan aneh bagi seorang kiai. Mungkin hal ini salah satu bentuk pendekatan emosional beliau dengan anak-anak santri. Beliau tetap mempunyai keistiqomahan, setelah menonton harus ngaji, tidak ada kata libur untuk ngaji meskipun nonton bola. Kiai Fauzi juga mewajibkan pada santri-santri beliau untuk berolahraga dua kali setiap minggu.
Banyak Kramat
Kiai Fauzi adalah sosok yang seakan-akan dikeramatkan oleh masyarakat saking begitu besar pengaruhnya. Beliau terkenal doanya makbul dan ucapannya menjadi kenyataan. Diantaranya beliau pernah mengucapkan “nanti, antara rumah saya sampai masjid sana rumah-rumah akan menjadi bangunan bertingkat.” Itu adalah isyarat akan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat dikemudian hari. Padahal kata-kata itu keluar ketika pada masa carut-marutnya perekonomian Indonesia tahun 1965.
Pada masa peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1965, beliau pernah membekali santri beliau dengan ijazah ilmu-ilmu kanuragan. Namun setelah berlalu masa ancaman PKI itu, ijazah yang beliau berikan itu diminta kembali. Meskipun beliau adalah orang yang sakti dan ahli ilmu kanuragan. Beliau tidak mau mengajarkan kepada santrinya, karena hal itu dianggap kurang penting dan berbahaya bagi kejiwaan mereka. Apa yang lebih manfaat bagi para santri ialah apa yang diharapkan oleh beliau dalam doanya, agar semua santri beliau menjadi orang yang bermanfaat, iai diberi kelebihan dalam harta benda untuk mendukung jalan dakwah. Ada diantara snatri beliau menjadi kiai besar yang mengasuh pesantren dengan santri ribuan, jumlah yang lebih besar dari jumlah santri beliau sendiri yang tidak mencapai angka 500. Ada juga diantara santri beliau yang sangat sulit ekonominya waktu belajar di pondok, tapi kemudian menjadi orang kaya raya dan snagat dermawan.
Pernah suatu ketika, santri alumni beliau yang bekerja di Jakarta mendapat kabar bahwa pondoknya sedang ada pembangunan, sedang ia sendiri tak punya uang. Ia memaksakan diri untuk berhutang beberapa juta kepada bosnya untuk disumbangkan pembangunan pesantren. Ketika ia kembali ke pondok, ia mendapatkan rizeki yang tak terduga asalnya yang ebih dari jumlah uang yang disumbangnya. Banyak santri beliau yang mendapatkan dhawuh secara khusus yang menggambarkan masa depan santri tersebut akan sebuah isyarat mengenai tantangn yang akan dihadapinya atau takdir yang akan dijalani santrinya tersebut.
Kiai Fauzi dulu pernah beberapa kali menikahkan jin, dan hal ini sering disaksikan oleh santri beliau sekitar jam 2 malam. Hanya saja pada saat itu santrinya baru ada 10 orang. Ada lampu stongkring terpasang dan tidak ada siapa-siapa kecuali Kiai Fauzi yang terlihat dalam remang-remag dengan suaranya menikahkan orang. Pada saat itulah acara walimah yang dihadiri para jin.
Ketika Kiai Fauzi menghadiri acara, menurut adat yang berlaku, biasanya ada 2 amplop. Satu untuk sumbangan masjid, dan satu lagi untuk bisyaroh kiai. Dan biasanya amplop untuk masjid nominalnya harus lebih besar, namun khusus untuk mengahadirkan Kiai Fauzi, panitia mengalokasikan nominal yang lebih besar untuk kiai daripada untuk masjid. Alasannya, hal ini sudah diyakini pasti apa yang diberikan pada Kiai Fauzi lebih besar, pasti berkahnya nanti lebih besar.
Komentar
Posting Komentar