Pondok Pesantren Al Ittihad Poncol, Bringin Kab. Semarang

PONDOK PESANTREN
PUTRA PUTRI AL ITTIHAD PONCOL

Materi ini disusun guna memenuhi tugas UAS Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Khoirul Anwar, M.Ag.

Disusun oleh:
Anna Muntadhirotussa’adah (33010190147)

KELAS HKI D
FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019



Tidak bisa dipungkiri lagi jika keturunan para waliyullah akan mewarisi ilmu-ilmu agama dari mereka. Dengan bekal ilmu-ilmu tersebut, para keturunan waliyullah juga meneruskan perjuangan nenek moyang beliau, yakni menyebarluaskan agama Islam“Innaddiina ‘Indallahil Islam” (Sesungguhnya agama yang diterima atau diridhoi Allah hanyalah Islam). Di antara waliyullah yang terdapat dalam kumpulan walisongo yaitu Sunan Kalijaga (Raden Syahid) dan Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin). Kedua walisongo tersebut, pada akhirnya menjadi nenek moyang dari seorang ulama yang bernama K.H. Misbah. Untuk lebih jelasnya, berikut silsilah dari K.H. Misbah hingga sampai ke kedua waliyullah tersebut:
Maulana Ishaq (Blambangan) ( Raden Ainul Yaqin/Sunan Giri (Gresik, Jawa Timur)     ( Tumenggung Ario Tejo (Tuban Jawa Timur) ( Ario Tumenggung Wilatikta (Tuban Jawa Timur) ( Raden Syahid/Sunan Kalijaga (Kadilangu Demak) ( Raden Umar Sa’id/Sunan Kuning (Muria Kudus) ( Raden Santri/Bupati Korowelang (Kaliwungu Kendal) ( K.H.R. Niti Negoro (Gogodalem Bringin) ( K.H.R. Satriyan (Gogodalem Bringin) ( K.H.R. Bagus Towongso (Gogodalem Bringin) ( K.H.R. Wongso Taruno (Gogodalem Bringin) ( K. Zamsari (Gogodalem Bringin) ( K. Mursodo (Gogodalem Bringin) ( K. Mertodito (Gogodalem Bringin) ( K.H. Misbah (Poncol Bringin).
Demikian silsilah K.H. Misbah, meskipun sangat panjang alurnya namun beliau tetaplah masih keturunan waliyullah. Berikut akan dipaparkan kehidupan beliau, sejak beliau masih belia hingga tumbuh seorang ulama besar yang berhasil mendirikan pondok pesantren yang masyhur hingga saat ini.
BIOGRAFI K.H. MISBAH
Simbah K.H. Misbah berasal dari keluarga yang bagus agamanya. Beliau dilahirkan di desa Gogodalem Bringin Kab. Semarang dari pasangan K. Raden Mertodito bin K. Mursodo dengan ibunya yang bernama Nyai Asiyah. Mbah Misbah semasa hidupnya menikah 3 kali. Dengan istri pertamanya, beliau tidak dikarunia seorang anak lalu mereka memutuskan untuk bercerai. Selanjutnya, mbah Misbah menikah lagi dengan seorang gadis bunga desa dari desa Kauman Lor Kec. Pabelan Kab. Semarang. Dengan istri kedua ini, mbah Misbah dikaruniai 2 putra, yaitu Askirom dan Ikrom. Akan tetapi, karena tidak ada kecocokan akhirnya mereka bercerai. Namun, mantan istri mbah Misbah itu meminta mbah Misbah untuk menikah dengan adiknya yang bernama Aisyah. Sejak awal pernikahan dengan Nyai Aisyah, beliau pindah ke daerah Padaan Kec. Pabelan Kab. Semarang untuk menyebarkan Islam di desa itu. Lahirlah putra pertama mereka pada tahun 1810 M yang diberi nama Umar (Hasan Asy’ari). Beliau tidak lama-lama disana, kemudian beliau pindah ke Syehwulan Ngawi Jawa Timur untuk menyebarkan agama Islam. 22 tahun kemudian, mbah Misbah pindah ke Cikalan (sebelah Timur dusun Poncol).
ASAL USUL PONCOL
4 tahun sekembalinya mbah Misbah dari Ngawi, nama mbah Misbah semakin dikenal khalayak karena kealimannya. Hal itu memancing Mbah Sinder Getas /Mbah Thoyyib (orang yang mewakafkan tanah untuk pesantren)  meminta kepada mbah Misbah untuk mengamankan daerah sebelah utara Getas yaitu wilayah Ngerkesan yang mana daerah itu sangatlah angker, banyak sekali perampok, bahkan tidak ada satupun orang yang berani melewati wilayah tersebut karena bisa membahayakan keselamatan diri sendiri. Namun, mbah Misbah memberanikan diri untuk menaklukkan wilayah tersebut, dan pada akhirnya atas ridho Allah SWT. Mbah Misbah berhasil menaklukkan wilayah tersebut yang awalnya berupa hutan belantara menjadi tempat pemukiman masyarakat dan tempat bercocok tanam dengan bantuan Yadi dan Sarfan. Oleh Mbah Sinder, tempat itu diberikan sepenuhnya kepada Mbah Misbah sebagai imbalan untuk beliau karena bisa menaklukkan wilayah tersebut yang pada akhirnya tempat itu dinamakan Poncol.
PONDOK PESANTREN AL ITTIHAD PONCOL


Sejarah berdirinya Pondok Pesantren
Perjuangan mbah Misbah tidak sampai disitu saja, beliau terus menerus menyebarkan agama Islam. Di samping Poncol menjadi tempat pemukiman, mbah Misbah menjadikannya tempat beliau untuk menyebarkan Islam baik untuk masyarakat Poncol sendiri maupun untuk masyarakat luar, yaitu dengan mendirikan pondok pesantren yang bernama Al Ittihad yang berdiri pada tahun 1893 M/1310 H dengan beralamatkan di Poncol desa Popongan RT 04 RW Kec. Bringin, Kab. Semarang, Jawa Tengah. Beliau mulai membangun pesantren dari masjid sebagai pusat tempat dalam beribadah, beberapa kamar untuk santri putra dan santri putri, beberapa kelas untuk para santri melaksanakan madrasah di malam hari. Beliau memulai mengajar ilmu agama kepada anak-anak desa yang turut menimba ilmu di pesantren Al Ittihad itu, kemudian lambat laun nama pesantren itu tersebar ke luar daerah Poncol sehingga memancing masyarakat untuk menitipkan putra putrinya di pesantren itu untuk menimba ilmu agama juga. Dari anak-anak desa itu yang semakin tua, mereka memanfaatkan ilmu mereka yang telah mereka dapatkan dengan cara menjadi asatidz asatidzah di Pondok Al Ittihad untuk mengajarkan berbagai ilmu agama kepada santriwan santriwati, seperti fikih, sejarah, nahwu, shorof, astronomi, dan masih banyak lagi. Putra beliau yang bernama Umar (Hasan Asy’ari) adalah seorang yang suka berfoya-foya, jarang  di rumah, bermalas-malasan dalam masa kecilnya. Tahun demi tahun, Umar merasa bahwa kesehariannya itu salah dan ia harus bisa mengimbangi ilmu agama yang dimiliki ayahnya itu, Mbah Misbah. Ia kemudian menimba ilmu di pondok pesantren tua di Pondok Termas, desa Termas, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan. Disana ia belajar berbagai ilmu agama seperti fasholatan,ilmu tauhid,fiqih,tafsir,nhawu, shorof, sikap andap ashor, menghargai satu sama lain, sikap ta’dzim kepada para kyai yang terdapat di pondok itu. Tidak berhenti disitu saja, Umar tetap melanjutkan menimba ilmu di Pondok Mangkang. Kedua pondok itu masih belum juga membuatnya puas, ia masih saja haus ilmu. Kemudian ia menimba ilmu  lagi yang ketiga yaitu di Pondok  Pesantren milik Simbah Kyai Zainuddin yang ada di daerah Jambu, Ambarawa. Setelah cukup menimba ilmu agama di 3 pondok pesantren, akhirnya ia kembali ke kampung halaman dan menikah. K.H. Hasan Asy’ari Ilmu-ilmu yang telah ia dapatkan ketika mondok tidaklah ia sia-siakan. Ia memanfaatkan bekal-bekal yang telah ia dapatkan dengan membantu ayahnya, Mbah Misbah mengurus pondok pesantren. Bahkan ialah yang membadali (menggantikan) Mbah Misbah ketika beliau sedang mengisi pengajian di luar pondoknya. Perubahan yang terdapat pada Umar itu membuat keluarga bahkan masyarakat Poncol tidak menduga-duga ternyata sosok yang dulunya suka berfoya-foya, kerjannya bermalas-malasan bisa menggantikan posisi ayahnya. Justru dengan bantuan putranya ini, membuat pondok pesantren Al Ittihad ramai santrinya. Santri-santri yang menimba ilmu disana berasal dari berbagai daerah, bahkan ada yang berasal dari luar Jawa seperti Sumatra dan Kalimantan.
Wafatnya Simbah K.H. Misbah
Simbah K.H. Misbah adalah seorang alim ulama yang mewarisi ilmu-ilmu kedua walisongo itu, sehingga beliau sudah mampu melaksanakan kelima rukun islam dengan lengkap dan sempurna. Mbah Misbah melakukan ibadah haji di Mekah al Mukarromah selama 2 kali semasa hidupnya, pertama beliau melaksanakan haji  pada tahun 1329 H. Selang 3 tahun dengan haji pertama itu, Mbah Misbah melakukan haji yang kedua dengan putranya, Mbah Hasan Asy’ari pada tahun 1332 H. Pada saat itu, mbah Misbah tidak memiliki cukup biaya untuk menunaikan haji. Namun, beliau tidak berputus asa, Mbah Misbah kemudian melakukan i’tikaf selama 40 hari. Atas izin Allah SWT, Mbah Misbah dan Mbah Hasan Asy’ari tetap dapat melakukan ibadah haji dengan dibiayai  oleh Mbah Thoyyib (kepala desa Popongan pada masa itu) dan juga sedekah dari beberapa orang yang menjadi pengikut beliau baik dari para santri sendiri maupun dari masyarakat luar pondok pesantren. Mbah Misbah berada di kota suci itu tidak sebentar, beliau melakukan ibadah haji selama  6 bulan, yaitu dari bulan Rajab hingga Dzulhijjah. Mbah Misbah dan Mbah Hasan mampu melaksanakan haji  dengan sempurna. Beliau ingin sekali berziarah ke makam Rasulullah SAW di masjid Nabawi Madinah tepatnya di kamar Rasulullah sendiri bersama istrinya, Aisyah. Akan tetapi, hal itu belum kesampaian karena pada saat sampai makam sayyidina Fatimah az Zahra, putri bungsu Rasulullah yang berada di makam Baqi, Mbah Misbah jatuh sakit sehingga tidak bisa meneruskan perjalanan menuju makam Rasulullah SAW. Selang 2 bulan setelah itu, tepatnya pada tanggal 27 bulan Ramadhan sakit Mbah Misbah semakin parah dan  keadaan beliau ini membuat Mbah Misbah tidak dapat ditinggalkan dalam kondisi sendirian. Sehingga, pada saat itu banyak sekali orang-orang yang menjaga beliau, baik dari kalangan Mbah Hasan Asy’ari sendiri maupun dari jamaah haji lainnya. Ketika Mbah Misbah sedang bersama Mbah Hasan beliau dawuh seperti ini : “Le anakku, olehku nangis iki, rikolo aku ora turu dumadaan aku kerawuhan gusti Rosul, aku ora pangkling sebab aku  wis bola-bali ngimpi ketemu Rosul. Dene olehe dawuhi durung mari kangen marang aku. Sebabe aku sowan namung sedelok, kerono aku loro, lan kersane arep mulang penggawe haji. Wusono kesat durung tutuk mulang, bacut sedo ono imam hanafi. Iku aku terus nangis, kesat wasiat hajiku kon nglakoni kowe lan kabeh perkarane mbok lan dulur-dulurmu kon masrahke kowe”. Mendengar itu, Mbah Hasan terdiam dan paham apa yang dibicarakan Mbah Misbah. Betapa mulianya Mbah Misbah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Itulah wasiat Mbah Misbah kepada Mbah Hasan Asy’ari sebelum beliau wafat. Mbah K.H. Misbah tutup usia pada hari Senin, 12 Dzulhijjah tahun 1332 H. Beliau dimakamkan di kota Mekah Al Mukarromah.Mbah Hasan Asy’ari begitu sedih dengan kematian ayahnya.
Perkembangan Pondok Pesantren

Sekembalinya dari melaksanakan ibadah haji, mau tidak mau Simbah K.H. Hasan Asy’ari harus meneruskan mengurusi pondok pesantren milik mbah Misbah itu. Selain hal itu wasiat dari mbah Misbah, mbah K.H. Hasan Asy’ari adalah keturunan langsung dari mbah K.H. Misbah . Mbah K.H. Hasan mengurus pondok dengan dibantu para asatidz asatidzah dan para alumni pondok Al Ittihad yang mengabdi di situ. Beliau juga dibantu oleh putra putrinya. Simbah K.H. Hasan Asy’ari berputra mulai 7 Muharram 1321 H sampai 30 Shafar 1363 H. Jadi, dalam masa 42 tahun beliau berputra 41 orang dari 8 istri (Nyai Natijah, Nyai Hasanah, Nyai Ummi Kultsum, Nyai Rukmi, Nyai Zaenab, Nyai Kunainah, Nyai Sumilah/Nyai Kuwik, dan Nyai Pajiyem. Diantara nama-nama putra putri K.H. Hasan Asy’ari yaitu: Junaid, Muhsinin, Muslimin, Mukminin, Ahmad Hisyam, Aminah, Abi Yazid, Maryah, Ahmad, Khalimah, Khamzah, A’isyah, M. Asnawi, Abdul Kholiq, Abdul Hamid, Sahilah, Thoha, Shodaqoh, Nafisah, Lathifah, Ubaidah, Abdullah, Muslikhah, Ni’mah, Robi’ah, Maimunah, Abdul Majid, Nu’man, Abdul Hadi, Khomsiyah, Husain, Asiyyah, Abdul Fattah, Muthma’innah, Fadhil, Izzudin, Sulaiman, Abdul Hadi, Ummi Kultsum, Bahri, dan Qoni’ah. Dari ke 41 putra putrinya tersebut, yang menggantikan Simbah K.H. Hasan Asy’ari adalah putranya yang ke 9 yaitu Simbah K.H. Ahmad Asy’ari. Dengan begitu, bukan berarti putra putri beliau yang lainnya tidak meneruskan perjuangan K.H. Hasan Asy’ari. Ke 40 putra putrinya tetap menyebarkan agama Islam seperti K.H. Ahmad Asy’ari, namun mereka tidak terpaku di Poncol saja. Mereka bahkan membangun pondok pesantren di luar Poncol, seperti di Semarang, Sempon, Pringapus, Kaliwungu, dan di berbagai daerah Jawa lainnya bahkan ada yang di luar pulau Jawa seperti, Lampung, dan Jambi. Simbah K.H. Ahmad Asy’ari mempunyai 2  istri, yaitu Nyai Hj. Khoiriyyah dan Nyai Hj. Nashihah. Dengan istri pertama beliau dikarunia 5 anak (K.H. Habib Ahmad, K.H. Ma’mun Ahmad, Nyai Subai’ah, K.H. Musta’in Ahmad, dan Nyai Khofsoh) dan dengan istri kedua dikarunia 8 anak (Siti Maryam, Siti Zaenab, Hurriyah, Abdul Mujib, Amin Ahmad, Maemunah, Humaidah, dan M. Hasan Al Faruq). Dari putra putrinya itu, yang meneruskan mengurus Pondok Pesantren adalah putra putrinya  dari istri pertama, yaitu Nyai Hj. Khoiriyyah, yakni K.H. Habib Ahmad, K.H. Ma’mun Ahmad, Nyai Subai’ah, dan K.H. Musta’in Ahmad. Setelah ke 4 pengasuh tersebut wafat, sekarang pondok pesantren dipegang oleh beberapa pengasuh, yaitu K.H. Sahli Bidayah, K.H. Nur Kholis Thohir, K.H. Fatkhurrohman Thohir, K.H. Arifin Junaedi yang menjadi ketua LP maarif NU pusat, K.H. M. Fatih al Hafidz, K.H. Irfan Adib, dan K. Mufid Sajid. Sedangkan dzuriyah Poncol antara lain, K. Hasan al Faruq, K. Lubabuddin, K. Agus Salim, K. Ali Murtadho, K. Muhaimin Sajid, K. Ali Syukron, K. Aunur Rofiq, K. Ali Musthofa, K. Sulchi Mubarok, dan K.H. Muhammad A’lam, LC. Adapun ustadz-ustadz senior Poncol yaitu K. M. Anas Mukhlison, K. Zaini Zulfa, Ust. Abdul Mutholib, Ust. Syaifuddin, K. Jailani, Ust. Ali Usman, Ust. Basrowi, Ust. Fatkhul Amin, dan Ust. Ramadhani. Kegiatan para santri antara lain Khitobah, seni qiroatul Quran, Hadroh/Rebana, Musyawarah kitab, Dziba’iyyah, Sepak bola, Volly, Seni bela diri, Pertanian, dan Peternakan. Sedangkan unit pendidikan pondok pesantren yaitu Madrasah Salafiyah Manba’ussunnah putra putri, Madrasah diniyah al Ittihad, Tahfidz al Quran, SMK al Ittihad, RA al Ittihad, Wajar dikdas (setara SMP/MTs), dan Paket C (setara SMA/MA).


Adapun pengklasifikasian madrasah salafiyah manba’ussunnah ada 3 tingkatan, yaitu:
Tingkat Ibtida’iyah, ada 2 kelas:
Asshinfu Tsani. Kitab-kitabnya yaitu Alala, Syifa’ul Jinan, Al Qur’an, Izzul Adab, Muhafadhoh, Safinatussolah, Aqidatul Awam, Tarikh Jawan, Fiqih Jawan, dan Bahasa arab.
Asshinfu Tsalis. Kitab-kitabnya yaitu Awamil al Jurjani, Bad’ul Amali, Akhlaq Lilbanin, Al Quran, Lughotut Takhotob, Hujjah Ahlussunah Wal Jamaah, Kholasoh I, Muhafadhoh, dan Mabadiul Fiqih.
Tingkat Tsanawiyah, ada 2 kelas
Asshinfu Robi’. Kitab-kitabnya yaitu: Al Jurumiyah, Sulam Taufiq, Qowaidus shorfiyyah I, Wasoya, Risalah Attasrifiyah, Kholasoh II, Hidayatul Mustafid, Al I’lal, Bahasa Arab, dan Muhafadhoh.
Asshinfu Khomis. Kitab-kitabnya yaitu: Al Imrity, Al Maqsud, Fathul Qorib, Risalah Attasrifiyah, Attahliyah, Qowaidus shorfiyyah II, Kholasoh III, Al Jazariyah, Arba’innawawi, dan Muhafadhoh.
Tingkat Aliyah
Asshinfu Sadish. Kitab-kitabnya yaitu: Alfiyah Ibnu Malik, Tafsir Jalalain, Bulughul Marom, Jawahirul Kalamiyah, Qowa’idul I’rob, Minhatul Mughits, Al Waroqot, Fathul Mu’in, dan Muhafadhoh.
Asshinfu Saabi’ Kitab-kitabnya yaitu : Alfiyah Ibnu Malik, Jawahirul Maknun, Tafsir Jalalain, Kifayatul Awam, Fathul Mu’in, Faroidul Bahiyah, Durus Falaqiyah, Al Arudh, dan Lathioful Isyaroh.
Asshinfu Tsamin. Kitab-kitabnya yaitu : Mau’idhotul Mukminin, Fathul Wahab, Fathul Mu’in, Tarikh Tasyri, Jam’ul Jawami, Mahabits Fi’ Ulumil Quran, Husnul Hamidiyah, I’datul Farid, dan Jawahirul Maknun II.
Makam Migut

Makam Migut adalah sebuah makam yang berada di sebelah barat pondok pesantren Al Ittihad Poncol. Tepatnya diantara Poncol dan Bringin. Disitu, dimakamkan Simbah K.H. Hasan Asy’ari beserta anak cucunya atau dalam kata lain keluarga besar bani misbah. Dulu, di makam migut itu pernah terjadi keanehan yang luar biasa. Keanehan itu berupa adanya mayat yang dimakamkan sekitar 11-13 tahun, tetapi setelah dibuka ternyata jasadnya masih utuh. Kemudian, jasad jenazah itu dipindahkan ke Tegalsari Bringin, tepatnya di depan kantor Kecamatan Bringin. Beliau adalah Simbah K.H. Talhah yang anak cucunya sekarang mempunyai pesantren di Ngambak, Kedung Jati, Purwodadi. Beliau termasuk santri dari Simbah K.H. Hasan Asy’ari. Makam migut, khususnya di makam Simbah K.H. Hasan Asy’ari wadzurriyatihi sering diziarahi para santri pondok pesantren, para alumni, dan masyarakat umum dengan tujuan tabarrukan kepada masyakhih-masyakhih tersebut. Karena, konon banyak yang berhasil dalam hajatnya dunia dan akhirat karena ziarah ke makam Migut.

Sekian dan terima kasih, semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bangkitnya Pondok Pesantren Mansya'ul Huda

Sejarah Pondok Pesantren Ittihadul Asna